Artikel Mengenal Lebih Dekat

Suster Ludgardis, ADM – Merasa Lebih Bahagia Jadi Biarawati

Perempuan lembut berbalut jubah dan kerudung putih ini lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 9 Februari 1974, anak ke-2 dari 3 bersaudara perempuan. Semasa kecil, Sr. Ludgardis banyak mendapat pengasuhan dari neneknya. Tak heran, ketika ditanya pengalaman berkesan, perempuan yang waktu kecil senang bermain boneka dan pasar-pasaran ini menuturkan, “Saya ingat Nenek selalu menyediakan makanan buat cucu-cucunya. Kami semua duduk dan makanan dibagi rata oleh Nenek. Kenangan ini sangat berkesan, mengajarkan saya bagaimana berbagi secara adil.”

Masih ada pengalaman lain di masa kecil yang menumbuhkan benih panggilan dalam hatinya. Ketika duduk di kelas 4 atau 5 SD, Ludgardis kecil sempat dirawat di rumah sakit yang dikelola para biarawati kongregasi OSF. “Saya terkesan dengan seorang biarawati OSF yang merawat saya. Peristiwa itu terbayang terus. Setelah lulus SMA, saya sempat bekerja sebentar mencari pengalaman. Saya sering ke gereja di Muntilan. Ketika melihat suster di gereja, muncul lagi keinginan menjadi biarawati,” Sr. Ludgardis mengenang.

Tak menyangkal, semasa SMA Ludgardis remaja punya teman dekat. Ia pun mengaku pernah dilamar oleh seorang pria lain. “Saya suka bergaul dengan pria, tapi kalau sudah sampai tahap harus berkomitmen, saya takut apa bisa seumur hidup dengan satu orang? Saya menimbang-nimbang… pilihan hidup sendiri rasanya lebih baik daripada hidup berkeluarga,” ungkap perempuan yang sejak muda berprinsip bisa cari uang dan punya usaha sendiri.

Melihat biarawati yang menampakkan kesucian, dengan pakaian yang bersih dan rapi, Sr Ludgardis semakin yakin hidup membiara adalah panggilan hidupnya. “Saya ingin hidup bahagia. Dengan menjadi biarawati, saya bisa membahagiakan orang-orang lain, yang membuat saya juga jadi bahagia,” Sr. Ludgardis meyakini.

Awalnya Sr. Ludgardis menjadi aspiran (calon biarawati) di kongregasi OSF. Ketika mengikuti retret di masa pembinaan, ia baru mengetahui ternyata ada banyak kongregasi biarawati selain OSF. “Saya tertarik pada kongregasi Amalkasih Darah Mulia (ADM) karena spiritnya, yaitu Darah Mulia Yesus yang wafat di kayu salib demi cinta-Nya bagi keselamatan umat manusia. Di samping itu, kongregasi ADM belum lama berkarya di Indonesia, jumlah anggotanya belum banyak. Pelayanan kongregasi ini di bidang kesehatan, sosial, dan pastoral. Pilihan lokasi pelayanannya di tempat-tempat terpencil bukan perkotaan seperti di Purwokerto, Kutoarjo, Kebumen, Sumba, Timor, dan Timor Leste,” kata Sr. Ludgardis yang selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam pelayanan.

Pernah bertugas di Cengkareng-Jakarta, Kotabaru-Yogyakarta, Kutoarjo-Purworejo, sekarang di Duren Sawit, Sr. Ludgardis mengaku belum pernah kebagian melayani di pelosok. “Saya menerima penugasan yang diberikan pimpinan, karena ini termasuk kaul ketaatan yang sudah saya ikrarkan,” ujar biarawati yang merasakan kesan pertama biara sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan hening.

Perjalanan menapaki panggilan Tuhan memang tak selalu berjalan mulus. Terkadang muncul rasa jenuh dan kehilangan semangat, terutama ketika menghadapi tugas yang bertumpuk. Tetapi, “Saya kemudian menyadari, ini tugas sudah saya sanggupi, saya harus menerimanya. Dengan spirit Darah Mulia Yesus yang selalu hadir dalam Perayaan Ekaristi, ketika saya menyantap-Nya berarti Yesus ada dalam diri saya. Masa saya tidak bersemangat?” tutur Sr. Ludgardis.

Selain itu, Sr. Ludgardis percaya rekan-rekan satu komunitas yang Tuhan hadirkan dalam hidupnya adalah teman-teman seperjalanan yang selalu ada untuk mendukungnya dalam menjalani karya pelayanan. “Ketika saya menerima tugas yang menantang karena saya belum punya pengalaman sama sekali, saya percaya teman-teman sekomunitas akan mendampingi saya. Tuhan pasti tidak akan meninggalkan saya seorang diri,” tandasnya.

Bagi kaum muda yang masih bingung dalam menentukan panggilan hidup, Sr. Ludgardis punya jurus jitu untuk memilih, berkaca pada pengalaman hidupnya: “Pilihlah cara hidup yang paling membahagiakan untuk dirimu. Selama saya jadi suster, saya lebih banyak merasa bahagia daripada tidak bahagia. Itu membuat saya semakin yakin dengan panggilan hidup saya.” (CS)