Mengenal Lebih Dekat

Romo Adrianus Padmaseputra, SJ – Gembala Umat “Anti-Ambyar”

Imam Jesuit ini dua tahun lagi akan merayakan Pesta Emas Imamat. Sempat ditugaskan sebagai Pastor bagi para pengungsi Vietnam yang beragama Katolik di Pulau Galang selama 10 tahun, selebihnya karya pelayanan Romo Padmo – panggilan akrab beliau – berkisar di lingkup Keuskupan Agung Jakarta. Meskipun kata “ambyar” sering mewarnai homili beliau, namun perjalanan Gembala Umat ini sejatinya “anti-ambyar.”

***

Adrianus lahir di Yogyakarta, 24 Juli 1944, sebagai anak ketiga dari 10 bersaudara. Putra pasangan Benedictus Padmaseputra dan Constansia ini samar mengingat masa kecilnya. “Waktu itu situasi perang, kami tinggal berpindah-pindah. Pernah sekitar satu tahun saya menetap dengan kakek dan nenek dari pihak ayah di sekitar Rembang,” kenang Romo Padmo.

Namun, masih lekat dalam ingatan Adrianus kecil saat keluarganya bermukim di jalan Kemiri, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, lantaran Sang Ayah adalah karyawan perusahaan minyak zaman Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij N.V. (BPM). Bersekolah di SD Strada jalan Malang dan berinteraksi dengan imam-imam Jesuit di gereja Santa Theresia, Paroki Menteng; memunculkan tanya dalam hati Putra Altar ini, “Mengapa yang menjadi imam di Indonesia kebanyakan imam misionaris?” Perlahan benih panggilan tersemai dalam lubuk hatinya.

Dengan restu orang tua, di usia 12 tahun Adrianus bertekad masuk Seminari Menengah
Mertoyudan, Magelang. Mengaku awalnya tak mudah berpisah dengan keluarga, lama-kelamaan remaja yang gemar main sepak bola, basket, dan naik gunung ini terbiasa dengan irama kehidupan di seminari. Apalagi, di sini ia bertemu dengan teman-teman dari Jawa Tengah dan Bali.

Usai menamatkan pendidikan Seminari Menengah, Frater Adrianus memantapkan langkah menuju Imamat dengan menekuni pendidikan calon Imam Jesuit di Girisonta. “Waktu masuk ke Girisonta, angkatan saya jumlahnya 11 orang, tetapi kemudian yang ditahbiskan 4 orang,” tutur Romo Padmo yang menerima Sakramen Imamat pada 3 Desember 1974 di Yogyakarta.

Satu tahun pertama Romo Padmo melayani di Paroki jalan Malang, Jakarta Pusat. Setelah itu beliau mengikuti pendidikan lanjut sebagai Imam Jesuit selama setahun. Kemudian, Imam yang gemar menyanyi dan mendengarkan siaran radio ini dipercaya menjadi pembina bagi para calon imam Jesuit yang sedang studi filsafat di Jakarta – dikenal sebagai Unit Pulo Nangka, seraya menjadi anggota pengurus Yayasan Strada. Tiga tahun berselang, Romo Padmo kembali menjadi Gembala Umat di Paroki jalan Malang.

“Saya mengenal dan mengerti bahasa Jawa, tetapi bukan sebagai sarana untuk hidup dan berkarya, karena saya dibesarkan di Jakarta,” Romo Padmo mengemukakan alasan, mengapa belum pernah melayani di Jawa Tengah sepanjang hidup bakti beliau.

***

Pulau Galang termasuk wilayah pemerintahan Kota Batam di Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini menjadi salah satu tempat incaran penduduk Vietnam Selatan yang mengungsi, untuk menghindari serbuan pasukan komunis dari Vietnam Utara. Mereka datang dengan memakai kapal-kapal laut, sehingga dijuluki boat people. Kamp pengungsi didirikan Pemerintah Republik Indonesia (RI) mulai tahun 1979, sambil menunggu uluran tangan dunia internasional yang akan menerima para pengungsi di negara-negara mereka; terutama Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.

Ke tempat inilah Romo Padmo diutus Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia pada awal 1986, untuk mendampingi para pengungsi Vietnam yang beragama Katolik. “Waktu itu Jesuit Refugee Service Indonesia belum terorganisasi, tetapi sudah ada semangat dari Serikat Jesus (SJ) untuk peduli kepada saudara-saudara yang terpinggirkan,” ungkap Imam yang ditemani rekan imam Jesuit, tetapi terkadang bertugas sendirian sebagai imam di Pulau Galang.

Dari sekitar 2.000-3.000 pengungsi yang menghuni kamp, kira-kira 20% beragama Katolik. Mereka perlu mendapat perhatian dan pendampingan dari imam untuk meneguhkan iman mereka di masa sulit. Kehidupan menggereja mereka sangat aktif, pelayanan rohani diberikan setiap hari. “Anakanak yang mengungsi tanpa orang tua perlu mendapat perhatian khusus, karena mereka merupakan kelompok paling rentan yang mudah terpapar pengaruh buruk. Ada Eucharistic Children Movement yang merupakan gabungan putra-putri altar, Pramuka, Bina Iman Anak, dan Bina Iman Remaja. Mereka sangat disiplin dalam penataan organisasi,” kisah Romo Padmo yang memakai bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi dengan umat yang dilayani

Situasi mulai berubah sekitar tahun 1992, ketika dunia internasional memandang kondisi di Vietnam sudah membaik. Maka, para pengungsi yang tersisa di kamp harus menjalani proses skrining untuk dapat diterima di negara lain. Mereka yang tidak lolos skrining, harus kembali ke Vietnam. Hal ini menimbulkan tekanan bagi para pengungsi, beberapa dari mereka memilih mengakhiri hidup mereka sendiri.

“Terkadang kita berhadapan dengan situasi yang tidak bisa diurai. Saya melihat Santo Yusuf sebagai pribadi yang sangat percaya kepada Allah. Pokoknya apa yang Tuhan kehendaki, Santo Yusuf siap mengikuti. Ketika saya menghadapi situasi sulit yang membuat saya pusing, bingung, lelah, dan tidak tahu harus berbuat apa; saya mengikuti Santo Yusuf – berserah kepada Tuhan, biarlah Tuhan yang mengatur,” ujar Pastor yang juga menjadikan Santo Ignatius dari Loyola sebagai orang kudus panutan beliau.

Pada September 1996 Pemerintah RI menutup kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Namun, Romo Padmo masih berada di kamp untuk memberi pelayanan kepada orang-orang Indonesia yang beragama Katolik di sana, dan membantu Paroki di Tanjungpinang sampai penghujung 1996.

***

Menjejakkan kaki kembali di Jakarta awal 1997, tugas baru telah menanti. “Sebagai imam, harus siap ditugaskan di mana pun. Saya oke saja ketika diminta membantu Bapa Uskup Julius Kardinal Darmaatmadja sebagai Sekretaris. Saya punya modal: saya orang Jakarta, saya kenal Jakarta. Sejumlah imam sudah saya kenal cukup lama, tidak ada hambatan yang luar biasa,” kata Imam yang setiap hari menyempatkan diri berolah raga selama 30 menit – bersepeda, jalan kaki, atau treadmill.

Romo Padmo mencermati, Bapa Uskup sungguh berusaha memberi perhatian kepada paroki-paroki dan kaum religius. “Setiap dua tahun sekali beliau mengunjungi paroki-paroki di Keuskupan Agung Jakarta yang waktu itu mencapai 50-an paroki, juga mengunjungi biara-biara. Sebelum mengunjungi sebuah paroki, Bapa Uskup terlebih dahulu membaca dengan saksama laporan yang diberikan oleh paroki tersebut. Kaum religius diajak untuk bersama-sama memikirkan dan terlibat dalam pelayanan
umat di Jakarta,” tutur Romo Padmo.

Permohonan pengunduran diri Bapa Uskup Julius Kardinal Darmaatmadja sebagai Uskup Agung Jakarta karena usia beliau sudah mencapai 75 tahun, resmi disetujui Paus Benediktus XVI pada 28 Juni 2010. Seiring pergantian Uskup di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Romo Padmo menerima perutusan selanjutnya menjadi Pastor Kepala di Paroki Mangga Besar, Jakarta Barat.

“Melayani umat tidak ada batasnya: 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Saya berusaha sungguh-sungguh memberikan pelayanan maksimal untuk umat. Yang penting, pelayanan Gereja dan Misa Suci harus berjalan,” ujar Gembala Umat yang menjaga kesehatan dengan tidur cukup dan makan secukupnya.

Awal September 2018, Romo Padmo diminta Provinsial SJ Provinsi Indonesia menemani Romo FX. Widyatmaka, SJ, di Paroki Duren Sawit, Jakarta Timur. Semasa Romo Widyatmaka menjadi Frater di Unit Pulo Nangka, Romo Padmo menjadi pembina di sana. “Sekarang Romo Widi telah meninggal, tetapi saya masih di sini,” kata Pastor Rekan yang mengampu Bidang Peribadatan dan KomunitasKomunitas Kategorial di Paroki Duren Sawit.

Dua Imam Jesuit yang seangkatan dengan Romo Padmo kini telah menjalani masa purna bakti di Wisma Emaus Girisonta. “Mereka suka menggoda saya: kapan kamu masuk?” Romo Padmo menirukan. Masih berkaitan dengan Emaus, bukan kebetulan kalau Romo Padmo mengakui perikop “Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus” dalam Lukas 24:13-35 menjadi pegangan beliau sejak Tahbisan Imamat.

“Dua murid Yesus itu sedang berputus asa, patah semangat. Tetapi, Tuhan tetap setia menemani, tidak meninggalkan mereka. Tuhan menyapa, akhirnya mereka sadar telah menemukan Tuhan dan kembali ke Yerusalem. Tuhan tidak marah, tetapi sungguh-sungguh mendampingi kita; asalkan kita mau disentuh, membuka hati dan mendengarkan. Kita sering kali buta, tuli, dan tidak punya hati. Itu godaan-godaannya,” Romo Padmo menjelaskan.

***

Ditanya harapan beliau sebagai Gembala Umat, Romo Padmo merujuk kepada pesan Bapa Suci Paus Fransiskus pada Hari Doa Panggilan Sedunia ke-59 tanggal 8 Mei 2022 dengan tajuk “Dipanggil untuk Membangun Keluarga Manusia.” Paus Fransiskus mengatakan, kita semua dipanggil mewujudkan impian Allah, yakni menjadi satu keluarga umat manusia yang penuh cinta kasih dan hidup dalam damai. “Apa yang diharapkan Bapa Suci, layak kita hayati dengan sungguh-sungguh sebagai umat
beriman. Beliau mengajak kita menyelami kasih dan kerahiman Allah, serta menjadi pribadi yang mengasihi sesama,” ungkap Imam yang masih cekatan memutar kemudi mobil ini.

Kerap menyebut kata “ambyar” dalam homili-homili, Romo Padmo ingin menggelitik perhatian
umat, agar hidup rohani mereka tidak menjadi ambyar. Gembala yang telaten menghadirkan kasih
Allah dalam aneka tugas perutusan beliau, telah menunjukkan ketangguhan iman beliau yang “antiambyar.”

“…. Para murid sadar, Yesus Andalan mereka, Guru mereka, akan segera ditangkap, menderita sengsara, dan mati sebagai orang yang terhina. Bagi para murid ini realitas yang sangat sulit diterima, dicerna, dan dihadapi. Mereka galau, kecil hati, dan sungguh-sungguh ambyar untuk melanjutkan perjalanan hidup, menapaki masa depan…. Tuhan menghibur dan menguatkan hati para murid. Memang mereka mengalami ke-ambyar-an dalam hidup mereka, tetapi mereka tidak boleh mandek. Tetap melanjutkan peziarahan hidup di muka bumi ini, karena Tuhan setia kepada kita dan sangat mencintai kita; hingga Ia rela mati di kayu salib, agar kematian dan kebangkitanNya menjadi kebangkitan kita dari keterpurukan yang menghantam hidup kita…,” cuplikan homili
Romo Padmo di Gereja Santa Anna, Paroki Duren Sawit, 15 Mei 2022.

*******

Penulis: PHM. Cendrawati Suhartono

Artikel Asli : Feature Sejarah-Romo Adrianus Padmaseputra SJ-Gembala Umat Anti-Ambyar