Artikel Berita

Misa Inkulturasi 14 Agustus 2022

Jakarta-Misa Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga dipadukan dengan Misa Inkulturasi Manado pada Minggu, 14 Agustus 2022. Misa kali ini menjadi bagian dari rangkaian menuju hari ulang tahun Gereja Santa Anna. Misa dipersembahkan oleh Romo Agustinus Rudy Chandra, Sj, dan Romo Paul Richard Ranwari, Pr.

Ada tampilan yang berbeda untuk misa kali ini, dimulai dari perarakan masuk menuju gereja dibarengi dengan Tarian Kasabaran, tarian khas dari suku Minahasa, yang diiringi permainan alat musik kolintang dari Sanggar Sound of Wood. Lalu penggunaan Bahasa Manado pada bagian doa umat, lagu persembahan, dan lagu komuni, serta pakaian dari Sulawesi Utara yang tampak dikenakan oleh para anggota koor dan pemain kolintang.

Dalam peringatan Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga, Romo Rudy menyampaikan pesan dalam khotbahnya, “Kekayaan juga pengaruh kita di dunia ini, itu tidak cukup untuk menyelamatkan kita di surga, hadiah tidak cukup, bahwa kita percaya pada Kristus, orang tadi orang kaya itu juga percaya pada Kristus. Dia rajin ke gereja itu, ya bahwa kita percaya pada Kristus kita sudah dibaptis kita rajin ke gereja.

Memang dengan semuanya itu tambah kita pun akan terdaftar di surga, maka seperti orang kaya tadi barangkali kita juga akan masuk surga barangkali. Tetapi ternyata sekedar percaya dan memberikan diri dibaptis, sekedar menerima Rahmat dari Tuhan itu saja ternyata juga tidak cukup. Dibutuhkan hal yang lain yaitu kesalehan. Apa itu kesalehan?

Kita hidup mau memuji dan mengakui Tuhan, bahwa apa kita mampu bersyukur atas rahmat yang diberikannya kepada kita, tapi juga kita mampu mempergunakan semua berkat dan rahmat itu untuk melayani sesama dan untuk memuliakan Tuhan.”

Pada perayaan yang dibarengi dengan Misa Inkulturasi Manado ini, menjelang penutup Romo Paul turut menyampaikan pesan, “Tadi yang dipakai ini pakaian dari seragam Tarian Kabasaran (Cakalele), menampilkan sebenarnya satu keutuhan manusia di tengah alam. Lingkungan yang hidup bersama dengan dunia roh dunia atas pakai buah buat.

Lambang burung dan kemudian itu dipakai lambang tengkorak itu untuk yakin atau monyet itu lambang itu hidup bersama dengan alam semesta penghuni alam semesta. Baru kemudian ada ini pakai dengan kolintang. Kolintang ditemukan di Minahasa. Itu waktu ditemukan penggubahnya menemukan itu suara Allah, sama dengan gamelan bisa menampilkan suara dari Allah, dan juga suling itu untuk Manado dipakai untuk kolintang.

Kemudian di koor tadi terdengar ada kata Oppo Empung Wailan, yaitu Oppo yang diluhurkan, Empung yang diluhurkan atau Dominus Deus, dan juga Wailan yang agung. Kita panjatkan itu supaya untuk memuliakan Allah secara lebih khusus dalam penghayatan spiritualitas Minahasa Manado sendiri. Masing-masing budaya memang, mempunyai corak untuk menghayati spiritualitas hubungan dengan Allah yang Mahaagung. Karena itu memang ada misa inkulturasi dan memang lebih menyentuh lantaran ada yang bilang itu Qui bene cantat bis orat, menyanyi dengan bagus itu dua kali berdoa.”

AS, salah satu umat yang mengikuti misa inkulturasi, mengatakan bahwa ini sarana yang bagus dengan adanya misa inkulturasi ini. “Bagus ya, karena inkulturasi daripada misa ini kan menggabungkan sebuah budaya dengan keagamaan, dan iman yang kita yakini, yaitu Iman Katolik. Jadi adanya misa ini, menurut saya memang jalan yang pas untuk menengahi di mana ada kepercayaan di dalam budaya dengan iman yang kita pegang dari kecil sampai sekarang, yaitu Iman Katolik.”

Di tengah zaman modern saat ini, seringkali timbul dilema antara kepercayaan adat dan agama. Dengan adanya misa inkulturasi ini, diharapkan mampu memberikan jawaban antara adat dan agama.

Salah satu pemain kolintang yang mengiringi misa inkulturasi, yaitu Ferdinand, berharap secara khusus musik kolintang mampu melayani gereja-gereja di Indonesia, karena bagaimanapun juga musik kolintang memiliki nilai yang sakral bagi masyarakat suku Minahasa. Bahwa sekarang alat musik kolintang telah bertransformasi untuk mengisi acara-acara kerohanian tidak hanya bagi umat kristiani, berharap ke depannya musik kolintang bisa bergaung di Indonesia tanpa memandang, suku, agama, ras, dan golongan.