Perlu Membangun 3K
Wajah beliau sudah tidak asing lagi bagi kita. Kalau beberapa tahun lalu Romo Yoko – nama panggilan beliau, sering menjadi Romo tamu yang memimpin Misa di Paroki Duren Sawit; sejak awal Oktober tahun lalu, Imam Jesuit kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 4 Februari 1961 ini bertugas sebagai Pastor rekan di paroki kita.
Menarik menyimak perjalanan Imamat Romo Yoko yang telah diarungi selama lebih dari 28 tahun, sampai akhirnya berlabuh di Duren Sawit. Berikut petikan perbincangan dengan putra ke-6 dari 8 bersaudara, anak pasangan Constantinus Rahardjo dan Agnes Oetarmi ini dengan Tim WARISAN di pastoran:
Sebelum bertugas di Paroki ini, Romo bertugas di mana?
Saya menjadi ekonom di kantor Provinsialat Serikat Yesus di Semarang selama lima tahun (2014-2019). Tugas saya di bidang keuangan, aset, dan lain-lain milik tarekat Serikat Yesus, sekaligus sebagai Bendahara Perkumpulan Aloysius.
Bagaimana awal panggilan Romo menjadi Imam?
Saya menghabiskan masa kecil dan remaja saya di Klaten. Bersekolah di SD Kanisius dan SMP Pangudi Luhur. Ketika duduk di bangku SMP, guru agama saya selalu mengingatkan, masih dibutuhkan banyak imam di Indonesia. Waktu itu masih banyak pastor impor dari luar negeri, kebanyakan asal Belanda. Dari situ, hati saya mulai tergerak dan bercita-cita menjadi imam. Sejak SD saya sudah aktif menjadi putra altar di paroki kami. Kegiatan ini semakin menguatkan panggilan saya menjadi pastor. Apalagi Pakde dan Bude dari pihak Ibu, menjadi Pastor dan Suster. Keduanya sudah meninggal sekarang.
Apakah orang tua Romo merestui?
Awalnya saya sempat ragu, tetapi akhirnya saya mengutarakan niat saya masuk Seminari Menengah kepada orang tua, satu hari menjelang penutupan pendaftaran di Seminari itu. Puji Tuhan, orang tua saya tidak keberatan dan mengizinkan. Saya masuk ke Seminari Menengah St. Petrus Kanisius di Mertoyudan, Magelang.
Dalam perjalanan menempuh pendidikan calon imam di Seminari, apakah pernah muncul keraguan akan panggilan Romo menjadi pastor?
Saya pernah mengalami keraguan, apa betul ini jalan yang saya pilih? Kadang timbul rasa bosan, jenuh dengan rutinitas di asrama. Situasi waktu itu di asrama sepertinya kurang kondusif. Sebagian teman angkatan Seminari Menengah itu bandel, termasuk saya, tetapi tidak banget-banget. Kenakalan remaja biasa… seperti bolos sekolah, curi buah-buahan, makan tidak tepat waktu. Dalam hati timbul pertanyaan: apa betul kami yang nakal ini kelak bisa jadi pastor? Yang penting, bila mulai ada keraguan, harus dibicarakan dengan pembimbing, agar dapat merefleksikan panggilan dan mendapat peneguhan. Tetapi, anehnya justru angkatan saya yang sebagian bandel itu banyak yang jadi pastor.
Setelah lulus dari Seminari Menengah tahun 1980, Frater Yoko masuk ke Novisiat Serikat Yesus di Girisonta selama dua tahun. “Pada masa ini kami – para novis – dibimbing agar bertumbuh ke arah rahmat panggilan sebagai Yesuit,” kenang Romo Yoko. Dari Girisonta, Frater Yoko melanjutkan studi filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, selama tiga tahun. Kemudian, tahun 1985-1988 Frater Yoko menjalani Tahun Orientasi Kerasulan di Seminari Mertoyudan, Magelang. Studi teologi ditekuninya di Yogyakarta antara tahun 1988-1992. Uniknya, sebelum tuntas studi teologi, Romo Yoko ditahbiskan sebagai Imam pada 29 Juli 1991.
Di mana Romo pertama kali ditugaskan setelah ditahbiskan?
Saya ditugaskan di Paroki Ambarawa selama dua tahun. Setelah menjalani Tersiat untuk penyegaran kembali hal-hal spiritual selama sembilan bulan, saya ditempatkan di Seminari Menengah Wacana Bakti, Jakarta tahun 1995-2000. Lalu, saya kembali ke Seminari Menengah Mertoyudan sebagai pamong dan minister selama 6 tahun.
Wah… Romo lebih sering bertugas di Seminari, ya…
Tahun 2006-2007 saya melayani di Paroki St. Theresia, Menteng, tetapi hanya sembilan bulan. Saya lalu ditugaskan sebagai Direktur Wisma Puruhita untuk membimbing para frater KAJ di Tahun Orientasi Rohani (2007-2014), sekaligus menjadi Direktur Pusat Pastoral KAJ Samadi Klender (2008-2014).
Bisa diceritakan pengalaman sangat mengesankan yang masih Romo ingat, selama 28 tahun lebih menjadi Imam?
Salah satu pengalaman yang mengesankan, pada tanggal 12 Juli 1998 kami merayakan pesta emas perkawinan orang tua, sekaligus menikahkan adik bungsu kami. Perayaan tersebut dipimpin lima pastor, saya sebagai selebran utama bersama empat pastor dari lingkungan keluarga besar. Ini merupakan kesempatan reuni keluarga besar dan promosi panggilan hidup – baik hidup berkeluarga, maupun panggilan imamat dan hidup membiara . Hal ini berlanjut sampai sekarang, bila ada acara keluarga seperti perkawinan, peringatan arwah, dan lainnya.
Sekarang Romo bertugas di Paroki. Bagaimana kesan Romo terhadap Paroki Duren Sawit?
Setelah cukup lama saya tidak berkecimpung di dunia keparokian, saat ini saya masih dalam proses mempelajari, melihat, mendengar, dan bertanya tentang dinamika di paroki ini. Paroki Duren Sawit termasuk salah satu paroki yang perkembangan umatnya cukup pesat. Ada 19 Wilayah dan 83 Lingkungan. Di satu sisi kita bersyukur dengan umat yang banyak dan bervariasi, di sisi lain merupakan tantangan tersendiri, bagaimana umat dapat saling bekerja sama dengan baik, juga dengan para Romo yang ada di sini.
Ada pesan dan harapan Romo untuk umat Paroki Duren Sawit memasuki tahun baru 2020?
Dalam hidup menggereja dan bermasyarakat, semoga iman umat sungguh-sungguh kuat, mendalam, dan inklusif. Semoga Tahun Keadilan Sosial (tahun 2020) dapat diwujudkan secara nyata, baik di lingkungan keluarga, gereja, maupun di masyarakat. Untuk itu, perlu membangun 3K (Komunikasi, Koordinasi dan Kerjasama) antar semua pihak. (Koko)